Di tanah Kurdistan, ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia
memiliki putra; seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan
pemberani. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi sang raja adalah
ketika dia mengajari anaknya itu membaca al-Quran. Sang raja juga
menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan
tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat
gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kesil Said akan merasa
jengkel jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang
yang memutuskannya
Terkadang ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba-tiba
pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tamu penting yang harus
ditemui oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya.
Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya
kau mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman
baik, yang akan membentumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang
bisa kau ajak bercinta untuk surga.”
Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.
“Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman denganmu, bukan
karena derajatmu, tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang
tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan
dasar itu, kau pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan; karena
Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan dasyat yang
membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juta akan bersinar
membawa kalian masuk surga.”
“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Said.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kamu jadikan
teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun
yang kamu anggap cocok, untuk menjadi temanmu saat makan pagi disini, di
rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu
penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang
kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur, jika
kau bisa mengetahui perilakuknya lebih dari itu.”
Said sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktikkan
cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula, dia mengundang
anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari
mereka marah-marah karena hidangannya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada
yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul-mukul meja,
ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji; memaki-maki karena terlalu
lama menunggu hidangan.
Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak
seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan
setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi.
Adil memang lebih sabar dibandingkan anak-anak sebelumnya. dia menunggu
keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan
sebuah piring besar berisi tiga telur rebus.
Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”
Adil tidak pernah menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja
meninggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak perlu meminta maaf
kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua
tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak cocok
untuk menjadi teman sejatinya.
Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu
saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari
anak raja. Malam harinya, sengaja dia tidak makan dan melaparkan
perutnya agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan,
makanan anak raja pasti enak dan lezat.
Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said.
Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai
makann keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di
atasnya.
Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum.” kata Said seraya meletakkan piring itu di atas meja.
Lalu, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu
langsung melahap satu per satu telur itu. Tidak lama kemudian, Said
keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiga
telur itu telah lenyap. Dia kaget.
“Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan.”
“Semuanya?”
“Ya, habis aku lapar sekali.”
Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak
bisa dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka
dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa.
Said merasa jengkel kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua
mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas
dijadikan teman sejati.
***
Akhirnya, Said berfikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian,
mulailah Said berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan
kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik.
Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak
seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang
memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba
di gubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat
miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan
kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat.
Said memerhatikannya dari balik rumpun pepohonan.
Selesai shalat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”
“Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kau
anak seorang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak
miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
Said menyahut, “tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau
membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Apa aku kelihatan
seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku?
Mengapa tidak kita coba beberapa waktu dulu? Kau nanti bisa menilai,
apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat, hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia-sekata.”
Said menyepakati syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu itu. Sejak
hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama, memancing
bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya
berenang di sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said
sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati,
lapang dada,dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati
gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak
pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati,
Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah
diundang makan. Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong
roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin
sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak
pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh katena itu, Said merasa cukup
dengan apa yang diberikan kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu,
mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan,
yang tidak dia dapakan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia diajari
untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan;
antara daun dan buah yang bisakan yang bisa dijadikan obat, serta yang
beracun.
“Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita
tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di
sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah
seperti yang ada di ibukota kerajaan, Ilmu ada di mana-mana. Bahkan, di
hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada
sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di
rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya
itu.
“Pergilah ke ibukota, berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui
di sana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku.” kata Said sambil
tersenyum.
“Insya Allah aku akan datang.” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama
sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu
untuk masuk ke istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan
kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.
Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak
sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Said pun menguji
temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak
pencari kayu bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak
makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja.
Selama menunggu, dia tidak pernah memikirkan makanan sama sekali. Dia
hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja
ini, tentu dunia akan tenteram.
Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan, senang
hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan
shalih.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan
temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu bakar itu mengambil
satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara itu, Said
mengupasnya dengan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas
telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan
sebutir telur itu, apakan akan dimakannya sendiri atau …?
Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia
membelah telur itu jadi dua; yang satu dia pegang, dan yang satunya
lagi, dia berikan kepada Said. Tak ayal lagi, Said menangis terharu.
Lalu, Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya
berkata, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku
masuk surga.”
Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab.
Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai
dan saling menghormati karena Allah SWT. Karena kekuatan cinta itu,
mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan
berguru kepada para ulama yang tersebar di Turki, Syiria, Irak, Mesir,
dan Yaman.
Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja
yang adil; ayah Said, meninggal dunia. Akhirnya, Said diangkat menjadi
raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih
adalah Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi
teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering melakukan
shalat tahajud dan membaca Al Qur’an bersama. Kecerdasan dan kematangan
jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur dan jaya;
baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Sumber: Ketika Cinta Berbuah Surga
Karya: Habiburrahman El Shirazy
Dikutip dari : https://perycantiq.wordpress.com/ketika-cinta-berbuah-surga/